BBS, 'Leluhurnya' Internet
Penulis: Eko Ramaditya Adikara - detikinet
Ilustrasi (Ist.) Jakarta
- Pembaca, di jaman sekarang ini, tentu sangat gampang bagi kita
memanfaatkan internet dan segala fungsinya. Semuanya serba mudah, cepat,
dan murah. Tapi, pernahkah Anda membayangkan hidup kira-kira 30 tahun
yang lalu? Nah, lewat artikel ini, penulis ingin mengajak Anda berkenalan dengan leluhurnya internet, yang mengawali segalanya.
Jaman sekarang, mencari informasi di internet bak membalikkan telapak tangan. Tinggal jalankan koneksi, buka browser, lalu panggil "Paman Google" dan tuliskan apa yang Anda mau, maka ilmu pengetahuan akan segera jadi milik Anda, lengkap dengan sajian audio visual. Saking mudahnya, bahkan anak-anak usia dini pun telah akrab dengan internet.
Mau narsis dan lekas tenar? Ah, itu soal kecil! Tinggal buka Facebook, Twitter, atau YouTube, maka dalam hitungan detik segala hal tentang Anda akan tersebar luas. Tak harus menggunakan koneksi broadband atau pita lebar yang dapat menghantarkan data puluhan giga setiap kali jarum jam berdetak, dengan ponsel CDMA murahan saja Anda sudah dapat memamerkan koleksi foto dan video Anda.
Tagihan internet membengkak? Lho, itu dulu. Meski di Indonesia saat ini biaya langganan internet masih belum dapat dikatakan murah sekali, setidaknya untuk kebanyakan orang tarif internet yang ditawarkan provider tak akan membuat pelanggannya jual sawah atau puasa sebulan penuh.
Namun, kalau kita mau sejenak menengok ke 30 tahun silam, hal-hal di atas boleh jadi hanyalah mimpi. Tapi jangan salah, karena tanpa adanya impian itu, barangkali orang-orang kreatif di jaman itu tak akan menciptakan sesuatu yang akhirnya dikembangkan dan kita nikmati saat ini.
Leluhur
Sebenarnya cikal bakal internet sendiri sudah lahir di era 70-an, namun peredarannya masih terbatas dan teknologinya masih sederhana.
Tahun 1978, seorang penggiat komputer bernama Ward Christensen mendapat ide untuk menciptakan sebuah sistem komunikasi yang memungkinkan seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain yang berjauhan tempat. Bersama kawannya Randy Suess, ia pun menciptakan BBS (Bulletin Board System), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan pengguna komputer dapat berkomunikasi via modem dan telepon rumah.
Sistem BBS pertama resmi diluncurkan di Chicago pada 16 Februari 1978 dan diberi nama CBBS (Computerized Bulletin Board System). Dengan BBS, pengguna dapat mengunggah dan mengunduh aplikasi, bermain game online, memposting berita, atau bercakap-cakap lewat papan pengumuman (sekarang forum online).
Tentu saja aplikasi dan gamenya berukuran sangat kecil, boleh jadi tak lebih besar dari dokumen Microsoft Word Anda. Tampilannya pun sederhana, sebagian besar didominasi oleh teks.
Untuk menjalankan BBS, pengguna harus memasang modem ke komputer, lalu menghubungkannya dengan telepon. Kemudian, pengguna men-dial nomor telepon khusus, dan software BBS akan memunculkan layar login. Ketik username dan password, dan pengguna pun sudah terkoneksi ke sistem BBS.
Makin lama BBS pun kian menyebar luas, ada yang gratis dan ada juga yang berbayar. Saking banyaknya, orang jadi merasa perlu untuk mengelola BBS-BBS yang terus bermunculan. Maka, muncul yang namanya System Operator (SYSOP), yaitu orang yang bertindak selaku administrator yang menjalankan BBS, tugasnya kira-kira seperti administrator forum saat ini.
Bicara soal kecepatan, sepertinya tepat bila kita menjadikan BBS sebagai alat penguji kesabaran. Kalau Anda hendak menyeduh mie rebus dan bikin susu hangat, silakan lakukan setelah Anda menjalankan software BBS, karena waktu loadingnya lebih dari sekadar cukup buat Anda melakukan aktivitas di atas.
Lalu berapa lama kira-kira pengguna akan mendapatkan feedback? Jangan kaget! Kalau di jaman sekarang Anda dapat posting di forum dan pengguna lain akan me-reply dalam waktu kurang dari 1 menit, maka dibutuhkan waktu berbulan-bulan bagi pesan yang diposting menggunakan BBS untuk dapat terposting di papan pengumuman, dan akhirnya di-reply oleh orang lain.
Biaya yang dibutuhkan untuk dapat menikmati BBS pun boleh jadi bakal bikin kita melongo. Seperangkat komputer yang sudah BBS-ready semacam Atari, Apple 2, atau Commodore 64 baru dapat dibawa pulang setelah Anda menguras kocek sekitar USD 3000! Oh ya, kalau Anda ingin menyimpan data unduhan dari BBS, maka setidaknya Anda perlu menyiapkan hard disk berkapasitas 5MB yang kala itu harganya hampir sama dengan harga komputer di atas. Mengerikan ya?
Pengguna pun masih harus membayar tagihan telepon tiap bulannya. Umumnya, tagihan penggunaannya adalah USD 10 hingga USD 15 per jam. Bayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membayar fasilitas seminimalis itu?
Meski BBS tampak 'katrok' bila dibandingkan dengan teknologi jaman sekarang, mau tidak mau kita patut mengakui bahwa itulah leluhur dari sistem internet yang kita nikmati sekarang ini. Meski telah punah sekitar pertengahan era 90-an, BBS telah menjadi pelopor komunikasi dan interaksi masal antar sesama penduduk Bumi yang berjauhan tempat tinggalnya dan tak mengenal satu sama lain.
Penasaran?
Dalam artikel ini penulis memang tidak membahas secara detail mengenai seluk beluk BBS. Informasi tersebut mungkin sudah tak asing lagi bagi penggiat teknologi di Indonesia, namun informasi ini boleh jadi merupakan hal anyar bagi generasi muda yang baru mengenal dan memanfaatkan internet setelah teknologinya sudah canggih seperti sekarang.
Nah, jika Anda tertarik untuk mengenal lebih jauh mengenai BBS, penulis menyarankan untuk menonton DVD berjudul BBS The Documentary yang dapat diperoleh di www.bbsdocumentary.com. Film dokumenter ini dimotori oleh Jason Scott, praktisi komputer yang dulu ikut ambil bagian dalam perkembangan BBS.
Lewat DVD ini Anda dapat menyaksikan seperti apa BBS, apa saja perangkat yang digunakan, dan juga komentar dari orang-orang yang dulu memanfaatkan BBS. Semua diulas tuntas, hingga BBS akhirnya
punah dan digantikan oleh internet.
Kalau Anda mau tahu seperti apa postingan-postingan yang pernah tampil di BBS, Anda dapat mengakses www.textfiles.com, sebuah laman yang juga dikelola oleh Jason Scott yang berisi kumpulan arsip percakapan dan posting BBS yang sempat diselamatkannya dan diabadikannya di situs tersebut.
Jaman sekarang, mencari informasi di internet bak membalikkan telapak tangan. Tinggal jalankan koneksi, buka browser, lalu panggil "Paman Google" dan tuliskan apa yang Anda mau, maka ilmu pengetahuan akan segera jadi milik Anda, lengkap dengan sajian audio visual. Saking mudahnya, bahkan anak-anak usia dini pun telah akrab dengan internet.
Mau narsis dan lekas tenar? Ah, itu soal kecil! Tinggal buka Facebook, Twitter, atau YouTube, maka dalam hitungan detik segala hal tentang Anda akan tersebar luas. Tak harus menggunakan koneksi broadband atau pita lebar yang dapat menghantarkan data puluhan giga setiap kali jarum jam berdetak, dengan ponsel CDMA murahan saja Anda sudah dapat memamerkan koleksi foto dan video Anda.
Tagihan internet membengkak? Lho, itu dulu. Meski di Indonesia saat ini biaya langganan internet masih belum dapat dikatakan murah sekali, setidaknya untuk kebanyakan orang tarif internet yang ditawarkan provider tak akan membuat pelanggannya jual sawah atau puasa sebulan penuh.
Namun, kalau kita mau sejenak menengok ke 30 tahun silam, hal-hal di atas boleh jadi hanyalah mimpi. Tapi jangan salah, karena tanpa adanya impian itu, barangkali orang-orang kreatif di jaman itu tak akan menciptakan sesuatu yang akhirnya dikembangkan dan kita nikmati saat ini.
Leluhur
Sebenarnya cikal bakal internet sendiri sudah lahir di era 70-an, namun peredarannya masih terbatas dan teknologinya masih sederhana.
Tahun 1978, seorang penggiat komputer bernama Ward Christensen mendapat ide untuk menciptakan sebuah sistem komunikasi yang memungkinkan seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain yang berjauhan tempat. Bersama kawannya Randy Suess, ia pun menciptakan BBS (Bulletin Board System), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan pengguna komputer dapat berkomunikasi via modem dan telepon rumah.
Sistem BBS pertama resmi diluncurkan di Chicago pada 16 Februari 1978 dan diberi nama CBBS (Computerized Bulletin Board System). Dengan BBS, pengguna dapat mengunggah dan mengunduh aplikasi, bermain game online, memposting berita, atau bercakap-cakap lewat papan pengumuman (sekarang forum online).
Tentu saja aplikasi dan gamenya berukuran sangat kecil, boleh jadi tak lebih besar dari dokumen Microsoft Word Anda. Tampilannya pun sederhana, sebagian besar didominasi oleh teks.
Untuk menjalankan BBS, pengguna harus memasang modem ke komputer, lalu menghubungkannya dengan telepon. Kemudian, pengguna men-dial nomor telepon khusus, dan software BBS akan memunculkan layar login. Ketik username dan password, dan pengguna pun sudah terkoneksi ke sistem BBS.
Makin lama BBS pun kian menyebar luas, ada yang gratis dan ada juga yang berbayar. Saking banyaknya, orang jadi merasa perlu untuk mengelola BBS-BBS yang terus bermunculan. Maka, muncul yang namanya System Operator (SYSOP), yaitu orang yang bertindak selaku administrator yang menjalankan BBS, tugasnya kira-kira seperti administrator forum saat ini.
Bicara soal kecepatan, sepertinya tepat bila kita menjadikan BBS sebagai alat penguji kesabaran. Kalau Anda hendak menyeduh mie rebus dan bikin susu hangat, silakan lakukan setelah Anda menjalankan software BBS, karena waktu loadingnya lebih dari sekadar cukup buat Anda melakukan aktivitas di atas.
Lalu berapa lama kira-kira pengguna akan mendapatkan feedback? Jangan kaget! Kalau di jaman sekarang Anda dapat posting di forum dan pengguna lain akan me-reply dalam waktu kurang dari 1 menit, maka dibutuhkan waktu berbulan-bulan bagi pesan yang diposting menggunakan BBS untuk dapat terposting di papan pengumuman, dan akhirnya di-reply oleh orang lain.
Biaya yang dibutuhkan untuk dapat menikmati BBS pun boleh jadi bakal bikin kita melongo. Seperangkat komputer yang sudah BBS-ready semacam Atari, Apple 2, atau Commodore 64 baru dapat dibawa pulang setelah Anda menguras kocek sekitar USD 3000! Oh ya, kalau Anda ingin menyimpan data unduhan dari BBS, maka setidaknya Anda perlu menyiapkan hard disk berkapasitas 5MB yang kala itu harganya hampir sama dengan harga komputer di atas. Mengerikan ya?
Pengguna pun masih harus membayar tagihan telepon tiap bulannya. Umumnya, tagihan penggunaannya adalah USD 10 hingga USD 15 per jam. Bayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membayar fasilitas seminimalis itu?
Meski BBS tampak 'katrok' bila dibandingkan dengan teknologi jaman sekarang, mau tidak mau kita patut mengakui bahwa itulah leluhur dari sistem internet yang kita nikmati sekarang ini. Meski telah punah sekitar pertengahan era 90-an, BBS telah menjadi pelopor komunikasi dan interaksi masal antar sesama penduduk Bumi yang berjauhan tempat tinggalnya dan tak mengenal satu sama lain.
Penasaran?
Dalam artikel ini penulis memang tidak membahas secara detail mengenai seluk beluk BBS. Informasi tersebut mungkin sudah tak asing lagi bagi penggiat teknologi di Indonesia, namun informasi ini boleh jadi merupakan hal anyar bagi generasi muda yang baru mengenal dan memanfaatkan internet setelah teknologinya sudah canggih seperti sekarang.
Nah, jika Anda tertarik untuk mengenal lebih jauh mengenai BBS, penulis menyarankan untuk menonton DVD berjudul BBS The Documentary yang dapat diperoleh di www.bbsdocumentary.com. Film dokumenter ini dimotori oleh Jason Scott, praktisi komputer yang dulu ikut ambil bagian dalam perkembangan BBS.
Lewat DVD ini Anda dapat menyaksikan seperti apa BBS, apa saja perangkat yang digunakan, dan juga komentar dari orang-orang yang dulu memanfaatkan BBS. Semua diulas tuntas, hingga BBS akhirnya
punah dan digantikan oleh internet.
Kalau Anda mau tahu seperti apa postingan-postingan yang pernah tampil di BBS, Anda dapat mengakses www.textfiles.com, sebuah laman yang juga dikelola oleh Jason Scott yang berisi kumpulan arsip percakapan dan posting BBS yang sempat diselamatkannya dan diabadikannya di situs tersebut.
Post a Comment