Privasi Akun Facebook Menurut Barat dan Timur
Penulis: Arli Aditya Parikesit - detikinet
Ilustrasi (Ist.) Jakarta - Jean Paul-Sartre, Filosof Prancis, sangat terkenal dengan quote-nya 'orang lain adalah neraka'. Quote Sartre
tersebut sangat menunjukkan semangat individualisme barat, yang
mengagungkan dan mendewakan privasi. Aplikasinya persahabatan harus
dibuat seselektif mungkin, dan interaksi dengan orang asing harus
dibatasi.
Namun, Asia memiliki norma yang berbeda. Quote 'mangan ora mangan sing penting ngumpul' sangat menjelaskan semangat silaturahmi dari orang Asia. Aplikasi dari prinsip ini adalah bersahabat dengan semua orang, dan berinteraksi dengan siapapun.
Facebook, sebagai sosial media yang sangat populer, didesain supaya setiap penggunanya memiliki kesempatan berinteraksi dengan sebanyak mungkin pengguna lain. Hal ini tentu sangat welcome jika diterapkan di Asia, Afrika atau Amerika Latin.
Namun di barat, prinsip ini bisa problematis. Di Amerika Utara dan Eropa barat, banyak orang yang justru tidak ingin berinteraksi dengan sebanyak mungkin orang lain.
Privasi Menurut Barat
Selama tinggal di Eropa, sudah sangat sering kolega orang lokal bertanya kepada saya, mengapa Facebook Friend saya bisa sampai ribuan? Mereka heran, karena 'add friend' orang yang tak dikenal adalah sesuatu yang tidak bisa mereka pahami.
Tampaknya paradigma 'Sartreian' masih sangat kuat menghujam di lubuk mereka. Saya mencoba menjelaskan, bahwa saya meng-add teman sebanyak mungkin karena memang mencari teman baru sebanyak mungkin juga. Namun mencari teman sebanyak mungkin adalah sesuatu yang tidak masuk akal bagi mereka.
Di Amerika Serikat dan Eropa barat, ada tendensi sebagian user men-disable akun Facebook milik mereka dengan alasan privasi. Mereka kembali ke media konvensional seperti email dan blog, dengan alasan untuk keintiman dengan keluarga dan teman. Kesaksian user yang mendeaktivasi akun Facebook mereka dapat ditemukan di majalah IT online terbitan AS atau Eropa Barat.
Selama di Eropa, saya sendiri beberapa kali mencoba 'add friend' teman baru di Facebook, namun kalau tidak kenal sama sekali biasanya ditolak dengan pertanyaan sopan, 'apakah saya mengenal Anda?'. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik untuk mencari teman baru di dunia maya.
Lebih menariknya lagi, belum tentu kenal di dunia nyata akan diterima jadi teman di Facebook. Ada beberapa kasus, dimana mereka hanya membuka akun Facebook untuk teman dekat saja. Teman baru tidak akan diterima masuk ke dalam lingkaran pertemanan tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Facebook Friend mereka juga sangat terbatas jumlahnya.
Walaupun tentu ada pengecualian di sana sini, namun jelas bahwa secara umum, definisi privasi ala barat; social media adalah kepanjangan dunia nyata dan keduanya berhubungan secara sinkron. Artinya, persahabatan yang sangat terbatas di dunia nyata harus secara tegas direfleksikan pada jumlah teman yang terbatas pula di dunia maya.
Main Game, Pedagang, dan Selebriti Adalah Pengecualian
Namun dalam kasus Facebook ada pengecualian juga. Di Amerika Utara dan Eropa barat, game Facebook seperti Ninja Saga sangat populer. Dalam konteks ini, memang ada akun dari 'Western Hemisphere' yang diciptakan untuk bermain dan mempopulerkan game di socmed. Namun dalam game, kita tetap bisa tampil secara anonim sehingga masalah privasi bukanlah problem pada game itu sendiri.
Tentu saja selebriti dan pedagang juga dapat pengecualian dari urusan ini. Ada beberapa kecenderungan, dimana beberapa selebriti membuka akun pribadi dulu dengan meng-add friend sebanyak mungkin. Kemudian mereka akan membuat Fans Page sendiri.
Timur Adalah Kolektivisme
Tidak jauh berbeda dengan Twitter, terkadang kita juga bisa menemui akun anonim di Facebook. Sering ada permintaan untuk mengungkap identitas asli dari akun anonim atau akun yang tidak jelas identitasnya.
Adapun tidak semua berpendapat demikian. Masih banyak yang tidak ambil pusing atau enggan peduli dengan identitas asli dari akun anonim. Lebih tertarik mengetahui identitas asli dari akun tersebut dan tidak tertarik menggali lebih jauh validitas dari 'information content'. Namun tetap masih ada orang-orang kritis yang mencoba melakukan verifikasi lebih jauh.
Sesuai dengan falsafah 'mangan ora mangan sing penting ngumpul', maka kita memang sengaja mengumpulkan banyak 'friends' dan karena ingin mencari teman baru. Tidak masalah jika teman tersebut tidak kita kenal sebelumnya, toh keakraban tetap bisa terjalin dengan kopi darat untuk menindaklanjuti percakapan di dunia maya.
Jadi privasi ala timur: Sosial media tidak harus 'an sich' kepanjangan dunia nyata. Ia dapat menjadi 'dunia' yang berdiri secara otonom namun dapat juga saling bergantung.
Ini berarti bahwa jumlah persahabatan yang terbatas di dunia nyata dapat diperbaiki dengan memperbanyak sahabat di dunia maya. Praktisinya, kita dapat mengajak sahabat baru kita untuk kopi darat, sehingga pada akhirnya menambah jumlah sahabat.
Privasi Pada Social Media lain
Hanya satu hal yang seyogyanya dicatat bahwa isu privasi pada Facebook tidaklah otomatis dijumpai pada sosial media lain. Berbeda dengan Facebook, Twitter dan Google+ tidaklah didesain supaya user berinteraksi dengan semua orang.
Di Twitter, biasanya jika ada akun yang tidak memahami bahasa kita maka setelah beberapa saat langsung akan di-unfollow. Ada kecenderungan bahwa saling follow bisa terjadi kalau menggunakan bahasa yang sama.
Namun di Twitter, isu privasi memang tidak terlalu menonjol. Ini disebabkan karena desain Twitter yang sangat sederhana sehingga tidak memuat banyak informasi yang bersifat privasi.
Kesederhanaan memang adalah salah satu prinsip utama dari microblogging. Twitter terkesan lebih anonim daripada Facebook, selama bahasa yang digunakan sama maka saling follow dapat terjadi.
Prinsip anonimitas inilah yang menyebabkan isu privasi kurang bergaung di social media berlambang burung biru ini. Tweet yang dibatasi menjadi 140 karakter akan membatasi juga melubernya informasi yang bersifat privasi.
Sementara itu, pengguna Google+ mengambil pendekatan yang agak mirip dengan pengguna Twitter. Semangat open source yang mengutamakan saling membagi data dan informasi, membuat para Googlers untuk tidak terlalu sibuk dengan isu privasi.
Fitur 'Circle' pada Google+ juga dapat mengatur mana data yang ingin di-share pada publik, atau hanya pada Circle tertentu. Hal ini menjadikan user memiliki kontrol sangat penuh terhadap privasinya sendiri.
Namun, berhubung Google+ juga menyimpan infomasi user profile yang jumlahnya sangat besar, seperti Facebook maka Google harus lebih fokus menangani masalah privasi ini juga.
Ekspansi Google Street View ke Jerman adalah pelajaran yang sangat berharga bagi Google. Sebab di negeri Goethe tersebut pemerintah harus menciptakan legislasi khusus untuk melindungi privasi warganya.
Legislasi tersebut biasa disebut 'UU Google'. Praktisnya, pada Google street view jerman, ada banyak gedung atau tempat tinggal yang di-pixelated. Namun sejauh ini, pengguna Google+ masih tetap puas dengan fitur privasinya. Tampaknya Google berusaha belajar dari kasus Street View di Jerman.
Manakah Budaya yang Lebih Baik?
Berbeda dengan Google+ dan apalagi Twitter, Facebook adalah sosial media yang paling tua di antara mereka, memiliki fitur paling banyak, dan paling banyak juga menyimpan data mengenai privasi.
Oleh karena itu, wajar jika user sangat peduli dengan apa informasi yang akan mereka bagi di situ. Oleh karena itu, isu privasi menjadi muncul dan itu adalah hal yang sangat dependen terhadap budaya masing-masing bangsa yang berbeda.
Setiap budaya memiliki pandangan sendiri mengenai apa itu privasi. Namun dengan semakin dipersatukannya semua bangsa dengan cyberspace, maka dalam banyak kasus, definisi privasi menjadi kabur.
Terjadi tumpang tindih antara berbagai definisi dari bangsa yang berbeda. Sebagai contoh, akan sangat mungkin kita menemukan orang Indonesia yang sangat individualis, ataupun orang barat yang sangat kolektivis.
Namun secara umum, definisi 'keluarga' dan 'teman' menurut barat dan timur sangatlah berbeda. Ini sebabnya, frame individualisme mereka sukar diterapkan di Indonesia dan juga menerapkan kolektivisme ala Asia di barat juga tidaklah mungkin.
*) Terima kasih kepada Erick Ghafar dan Tommy Bernandus atas diskusinya
Namun, Asia memiliki norma yang berbeda. Quote 'mangan ora mangan sing penting ngumpul' sangat menjelaskan semangat silaturahmi dari orang Asia. Aplikasi dari prinsip ini adalah bersahabat dengan semua orang, dan berinteraksi dengan siapapun.
Facebook, sebagai sosial media yang sangat populer, didesain supaya setiap penggunanya memiliki kesempatan berinteraksi dengan sebanyak mungkin pengguna lain. Hal ini tentu sangat welcome jika diterapkan di Asia, Afrika atau Amerika Latin.
Namun di barat, prinsip ini bisa problematis. Di Amerika Utara dan Eropa barat, banyak orang yang justru tidak ingin berinteraksi dengan sebanyak mungkin orang lain.
Privasi Menurut Barat
Selama tinggal di Eropa, sudah sangat sering kolega orang lokal bertanya kepada saya, mengapa Facebook Friend saya bisa sampai ribuan? Mereka heran, karena 'add friend' orang yang tak dikenal adalah sesuatu yang tidak bisa mereka pahami.
Tampaknya paradigma 'Sartreian' masih sangat kuat menghujam di lubuk mereka. Saya mencoba menjelaskan, bahwa saya meng-add teman sebanyak mungkin karena memang mencari teman baru sebanyak mungkin juga. Namun mencari teman sebanyak mungkin adalah sesuatu yang tidak masuk akal bagi mereka.
Di Amerika Serikat dan Eropa barat, ada tendensi sebagian user men-disable akun Facebook milik mereka dengan alasan privasi. Mereka kembali ke media konvensional seperti email dan blog, dengan alasan untuk keintiman dengan keluarga dan teman. Kesaksian user yang mendeaktivasi akun Facebook mereka dapat ditemukan di majalah IT online terbitan AS atau Eropa Barat.
Selama di Eropa, saya sendiri beberapa kali mencoba 'add friend' teman baru di Facebook, namun kalau tidak kenal sama sekali biasanya ditolak dengan pertanyaan sopan, 'apakah saya mengenal Anda?'. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik untuk mencari teman baru di dunia maya.
Lebih menariknya lagi, belum tentu kenal di dunia nyata akan diterima jadi teman di Facebook. Ada beberapa kasus, dimana mereka hanya membuka akun Facebook untuk teman dekat saja. Teman baru tidak akan diterima masuk ke dalam lingkaran pertemanan tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Facebook Friend mereka juga sangat terbatas jumlahnya.
Walaupun tentu ada pengecualian di sana sini, namun jelas bahwa secara umum, definisi privasi ala barat; social media adalah kepanjangan dunia nyata dan keduanya berhubungan secara sinkron. Artinya, persahabatan yang sangat terbatas di dunia nyata harus secara tegas direfleksikan pada jumlah teman yang terbatas pula di dunia maya.
Main Game, Pedagang, dan Selebriti Adalah Pengecualian
Namun dalam kasus Facebook ada pengecualian juga. Di Amerika Utara dan Eropa barat, game Facebook seperti Ninja Saga sangat populer. Dalam konteks ini, memang ada akun dari 'Western Hemisphere' yang diciptakan untuk bermain dan mempopulerkan game di socmed. Namun dalam game, kita tetap bisa tampil secara anonim sehingga masalah privasi bukanlah problem pada game itu sendiri.
Tentu saja selebriti dan pedagang juga dapat pengecualian dari urusan ini. Ada beberapa kecenderungan, dimana beberapa selebriti membuka akun pribadi dulu dengan meng-add friend sebanyak mungkin. Kemudian mereka akan membuat Fans Page sendiri.
Timur Adalah Kolektivisme
Tidak jauh berbeda dengan Twitter, terkadang kita juga bisa menemui akun anonim di Facebook. Sering ada permintaan untuk mengungkap identitas asli dari akun anonim atau akun yang tidak jelas identitasnya.
Adapun tidak semua berpendapat demikian. Masih banyak yang tidak ambil pusing atau enggan peduli dengan identitas asli dari akun anonim. Lebih tertarik mengetahui identitas asli dari akun tersebut dan tidak tertarik menggali lebih jauh validitas dari 'information content'. Namun tetap masih ada orang-orang kritis yang mencoba melakukan verifikasi lebih jauh.
Sesuai dengan falsafah 'mangan ora mangan sing penting ngumpul', maka kita memang sengaja mengumpulkan banyak 'friends' dan karena ingin mencari teman baru. Tidak masalah jika teman tersebut tidak kita kenal sebelumnya, toh keakraban tetap bisa terjalin dengan kopi darat untuk menindaklanjuti percakapan di dunia maya.
Jadi privasi ala timur: Sosial media tidak harus 'an sich' kepanjangan dunia nyata. Ia dapat menjadi 'dunia' yang berdiri secara otonom namun dapat juga saling bergantung.
Ini berarti bahwa jumlah persahabatan yang terbatas di dunia nyata dapat diperbaiki dengan memperbanyak sahabat di dunia maya. Praktisinya, kita dapat mengajak sahabat baru kita untuk kopi darat, sehingga pada akhirnya menambah jumlah sahabat.
Privasi Pada Social Media lain
Hanya satu hal yang seyogyanya dicatat bahwa isu privasi pada Facebook tidaklah otomatis dijumpai pada sosial media lain. Berbeda dengan Facebook, Twitter dan Google+ tidaklah didesain supaya user berinteraksi dengan semua orang.
Di Twitter, biasanya jika ada akun yang tidak memahami bahasa kita maka setelah beberapa saat langsung akan di-unfollow. Ada kecenderungan bahwa saling follow bisa terjadi kalau menggunakan bahasa yang sama.
Namun di Twitter, isu privasi memang tidak terlalu menonjol. Ini disebabkan karena desain Twitter yang sangat sederhana sehingga tidak memuat banyak informasi yang bersifat privasi.
Kesederhanaan memang adalah salah satu prinsip utama dari microblogging. Twitter terkesan lebih anonim daripada Facebook, selama bahasa yang digunakan sama maka saling follow dapat terjadi.
Prinsip anonimitas inilah yang menyebabkan isu privasi kurang bergaung di social media berlambang burung biru ini. Tweet yang dibatasi menjadi 140 karakter akan membatasi juga melubernya informasi yang bersifat privasi.
Sementara itu, pengguna Google+ mengambil pendekatan yang agak mirip dengan pengguna Twitter. Semangat open source yang mengutamakan saling membagi data dan informasi, membuat para Googlers untuk tidak terlalu sibuk dengan isu privasi.
Fitur 'Circle' pada Google+ juga dapat mengatur mana data yang ingin di-share pada publik, atau hanya pada Circle tertentu. Hal ini menjadikan user memiliki kontrol sangat penuh terhadap privasinya sendiri.
Namun, berhubung Google+ juga menyimpan infomasi user profile yang jumlahnya sangat besar, seperti Facebook maka Google harus lebih fokus menangani masalah privasi ini juga.
Ekspansi Google Street View ke Jerman adalah pelajaran yang sangat berharga bagi Google. Sebab di negeri Goethe tersebut pemerintah harus menciptakan legislasi khusus untuk melindungi privasi warganya.
Legislasi tersebut biasa disebut 'UU Google'. Praktisnya, pada Google street view jerman, ada banyak gedung atau tempat tinggal yang di-pixelated. Namun sejauh ini, pengguna Google+ masih tetap puas dengan fitur privasinya. Tampaknya Google berusaha belajar dari kasus Street View di Jerman.
Manakah Budaya yang Lebih Baik?
Berbeda dengan Google+ dan apalagi Twitter, Facebook adalah sosial media yang paling tua di antara mereka, memiliki fitur paling banyak, dan paling banyak juga menyimpan data mengenai privasi.
Oleh karena itu, wajar jika user sangat peduli dengan apa informasi yang akan mereka bagi di situ. Oleh karena itu, isu privasi menjadi muncul dan itu adalah hal yang sangat dependen terhadap budaya masing-masing bangsa yang berbeda.
Setiap budaya memiliki pandangan sendiri mengenai apa itu privasi. Namun dengan semakin dipersatukannya semua bangsa dengan cyberspace, maka dalam banyak kasus, definisi privasi menjadi kabur.
Terjadi tumpang tindih antara berbagai definisi dari bangsa yang berbeda. Sebagai contoh, akan sangat mungkin kita menemukan orang Indonesia yang sangat individualis, ataupun orang barat yang sangat kolektivis.
Namun secara umum, definisi 'keluarga' dan 'teman' menurut barat dan timur sangatlah berbeda. Ini sebabnya, frame individualisme mereka sukar diterapkan di Indonesia dan juga menerapkan kolektivisme ala Asia di barat juga tidaklah mungkin.
*) Terima kasih kepada Erick Ghafar dan Tommy Bernandus atas diskusinya
Post a Comment