Wah! Kecanduan Gadget Bisa Bikin Narsis
Amerika Serikat - Obsesi terhadap perangkat teknologi
seperti smartphone, tablet atau laptop tak hanya menimbulkan gangguan
karena membuat orang lebih sering mencurahkan perhatian kepada
gadgetnya, tetapi juga bisa mengubah perilaku.
Setidaknya, demikian hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat. Ada 65 persen pengguna di negara berkembang memiliki smartphone, tablet atau laptop. Diperkirakan pada 2015, delapan dari 10 orang di seluruh dunia akan terkoneksi melalui gadget ini, setiap saat.
Dr Larry Rosen, profesor bidang psikologi di California State University meneliti semua perangkat ini yang disebutnya sebagai wireless mobile devices (WMD) dan menggali efek mereka. Hasil penelitian ini dituangkan dalam bukunya, 'iDisorder: Understanding Our Obsession With Technology and Overcoming Its Hold on Us'.
"Kita berada di tahap awal memahami masyarakat yang membawa 'seluruh dunia' di dalam kantongnya. Ini sangat baik, Anda bisa selalu terkoneksi dengan orang lain. Tapi ini juga artinya Anda selalu ada di sana, 24 jam," ujarnya seperti dilansir The Independent, Senin (25/6/2012).
Risetnya ini, memperlihatkan ada sejumlah gejala gangguan perilaku yang disebabkan terlalu seringnya menggunakan gadget. Salah satu contohnya adalah narsisme.
Mereka dengan perilaku ini cenderung memperlihatkan kebutuhan akan disanjung dan diperhatikan, tak bisa lepas dari jejaring sosial dan ibarat menyediakan taman bermain virtual miliknya sendiri sebagai wadah ekspresi diri.
Studi terpisah yang melibatkan 3.000 pengguna Twitter oleh Rutgers University mengidentifikasi, 80 persen tweet mereka bercerita tentang diri mereka sendiri.
"Bahkan orang yang aslinya di dunia nyata tidak seperti itu, akan merasa lebih percaya diri menampilkan sosok mereka secara online. Karena mereka bisa melakukannya di balik layar. Terkadang ini mengubah cara mereka berhubungan dengan dunia," jelasnya.
Disebutkannya juga, mobilitas gadget yang tinggi selain membuat penggunanya lebih mudah terhubung dengan orang lain, punya dampak sebaliknya. Orang secara sosial menarik diri dari dunia nyata karena kebutuhan komunikasi sudah terpenuhi melalui gadgetnya.
Penelitian yang melibatkan 1.300 orang dari berbagai usia ini juga menemukan bahwa para pengguna gadget yang lebih muda rata-rata berperilaku mulitasking dengan gadgetnya.
"Namun semakin banyak kita melakukan pekerjaan, semakin otak kita tertekan dan penuh. Semakin tertekan otak kita, semakin buruk kita dalam melakukan berbagai pekerjaan dan ini justru tidak produktif," ujarnya.
Untuk melawan gangguan rasa cemas akibat terlalu sering menggunakan gadget, Rosen menyarankan untuk sedikit mengurangi penggunaan gadget.
Setidaknya, demikian hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat. Ada 65 persen pengguna di negara berkembang memiliki smartphone, tablet atau laptop. Diperkirakan pada 2015, delapan dari 10 orang di seluruh dunia akan terkoneksi melalui gadget ini, setiap saat.
Dr Larry Rosen, profesor bidang psikologi di California State University meneliti semua perangkat ini yang disebutnya sebagai wireless mobile devices (WMD) dan menggali efek mereka. Hasil penelitian ini dituangkan dalam bukunya, 'iDisorder: Understanding Our Obsession With Technology and Overcoming Its Hold on Us'.
"Kita berada di tahap awal memahami masyarakat yang membawa 'seluruh dunia' di dalam kantongnya. Ini sangat baik, Anda bisa selalu terkoneksi dengan orang lain. Tapi ini juga artinya Anda selalu ada di sana, 24 jam," ujarnya seperti dilansir The Independent, Senin (25/6/2012).
Risetnya ini, memperlihatkan ada sejumlah gejala gangguan perilaku yang disebabkan terlalu seringnya menggunakan gadget. Salah satu contohnya adalah narsisme.
Mereka dengan perilaku ini cenderung memperlihatkan kebutuhan akan disanjung dan diperhatikan, tak bisa lepas dari jejaring sosial dan ibarat menyediakan taman bermain virtual miliknya sendiri sebagai wadah ekspresi diri.
Studi terpisah yang melibatkan 3.000 pengguna Twitter oleh Rutgers University mengidentifikasi, 80 persen tweet mereka bercerita tentang diri mereka sendiri.
"Bahkan orang yang aslinya di dunia nyata tidak seperti itu, akan merasa lebih percaya diri menampilkan sosok mereka secara online. Karena mereka bisa melakukannya di balik layar. Terkadang ini mengubah cara mereka berhubungan dengan dunia," jelasnya.
Disebutkannya juga, mobilitas gadget yang tinggi selain membuat penggunanya lebih mudah terhubung dengan orang lain, punya dampak sebaliknya. Orang secara sosial menarik diri dari dunia nyata karena kebutuhan komunikasi sudah terpenuhi melalui gadgetnya.
Penelitian yang melibatkan 1.300 orang dari berbagai usia ini juga menemukan bahwa para pengguna gadget yang lebih muda rata-rata berperilaku mulitasking dengan gadgetnya.
"Namun semakin banyak kita melakukan pekerjaan, semakin otak kita tertekan dan penuh. Semakin tertekan otak kita, semakin buruk kita dalam melakukan berbagai pekerjaan dan ini justru tidak produktif," ujarnya.
Untuk melawan gangguan rasa cemas akibat terlalu sering menggunakan gadget, Rosen menyarankan untuk sedikit mengurangi penggunaan gadget.
Post a Comment